My Photo
Name:
Location: DKI Jakarta, Indonesia

Sunday, January 20, 2008

Kematian : Pergi atau Pulang

Orang pintar adalah, orang yang mengingat mati. Apa benar? Kalimat ini mungkin jadi semacam dagelan, jika yang mengungkap bukan seorang sekaliber Rasulullah. Ini juga bukan kalimat ghatik ghathuk, seperti bunyi iklan jamu. Lalu apa hubungannya mengingat kematian dengan kadar kepintaran? Mungkin orang-orang yang merasa cerdas, tak sempat terlintas dikepalanya tentang kematian, apalagi berfikir, mentafakuri kematian. Jika Firaun saja menyiapkan kematiannya belasan tahun dengan membangun pyramid yang megah, kita sekarang malah tak menyiapkan apa-apa.

Dalam memaknai kematian, manusia memiliki pandangan yang berbeda. Di barat sana, orang meninggal diceritakan dengan kata gone, berarti pergi. Dalam bahasa jawa ada istilah mangkat, artinya lebih kurang berangkat. Islam mengajarkan kata roojiuun, yang artinya kembali. Juga di Indonesia mengungkapkan kematian disampaikan dengan kalimat misalnya: Beliau sudah pergi ke alam baka, Beliau mangkat, Beliau berpulang ke Rahmatulah, atau Beliau kembali ke pangkuan Tuhan.

Kompas (1/5/2006), menulis judul besar, Pramoedya Telah Pergi, Berangkatlah Polemik! Bandingkan dengan situs endonesia.com (6/11/2007) menuliskan judul: Abah Anom berpulang Ke Rahmatullah. Lihatlah pilihannya ada dua, pergi atau pulang. Cuma itu pilihannya. Lalu kita mau pilih mana, meningal dengan posisi pergi atau meninggal dalam keadaan pulang.

Persiapan untuk pergi dan persiapan pulang, harusnya berbeda. Saya yang dulu suka naik gunung, menyiapkan isi ransel yang khusus kalau mau berangkat dan mengisi bekal yang berbeda kalau niat mau pulang. Persiapan orang yang mudik ke kampung halaman, juga beda dengan orang yang mau menyabung hidup di kota Jakarta. Mentalnya berbeda. Isi tas berbeda. Pilihan kendaraan berbeda. Anda suka pamitan kalau mau berangkat atau kalau pulang? Kepada siapa yang kita pamit sesungguhnya?

Saya sendiri ngeri membayangkan kematian. Mengingat waktu latsar Menwa 2006, tak sengaja menabrak sebongkah TNT yang sekian detik kemudian meledak saja saya sudah ngeri. Atau ketika perahu yang saya tumpangi ketika membantu korban tsunami Banggai 2000, hampir tenggelam di lautan dan terdampar di karang di tengah laut. Kematian ini begitu dekat. Lantas, siapkah kita berbekal?

Dimuat di Republika, Jumat, 18 Januari 2008

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home