My Photo
Name:
Location: DKI Jakarta, Indonesia

Wednesday, March 05, 2008

Fenomena Ayat-ayat Cinta


Secara tak sadar pengajian dan majlis taklim di kota-kota besar turut menjadi marketing Film Ayat-ayat Cinta. Itu loh, film yang diangkat dari novel book seller karya Habiburrahman El Sirazi, sebuah novel cinta berbalut nuansa dakwah yang dahulu diterbitkan secara bersambung di Republika.Maka pada pemutaran hari ke-4 saya menuruti permintaan istri saya yang aktifis pengajian nonton film ayat-ayat Cinta di bioskop 21 Pondok Indah Mall. Setelah sekian lama tidak pernah nonton di bioskop lagi – dahulu waktu bujangan saya lumayan sering menyambangi bioskop – sore itu saya ikut antri di loket bioskop kenamaan ini. Menikmati antri adalah segment yang mengasikkan, karena antri di bioskop malah bias teratur, padahal antri turun dari pesawat aja orang melayu seperti kita sudah untuk bisa saling mengalah. Akhirnya antrian saya tinggal satu orang di depan loket. Aha! Saya baca tulisan kemudian di temple : TIKET HABIS! Di kertas ala kadarnya dengan tulisn spidol hitam.

Rupanya antrian saya ini memang buat mereka yang bisa nonton pada jam berikutnya. Jadi saya harus sabar menunggu film ini diputar dua kali, baru yang ketiga saya bisa dapat tiketnya. Setelah mendapat persetujuan dari membaca tatapan mata istri tercinta, akhirnya saya beli tiket itu. Walah, sayapu hanya dapat bangku no dua dari depan, alias saya nomor urut paling buncit. Karena tinggal beberapa bangku saja yang masih kosong.

Maka saya berkesempatan menunggu dan menikmati banyak hal yang menarik. Tadinya saya gak menyangka bioskop jadi berbeda dari biasanya. Kali ini anyak ibu dan remaja putri berkerudung duduk-duduk menunggu jam putar bioskop. Ini agak aneh. Walau sebagian adalah anak Mall dengan busana mereka yang khas dan terbuka, tapi tetap aja para penunggu7 fiulm ini separuhnya adalah anak pengajian, terasa dari aura, gesture dan cara komunikasi mereka, ini komunitas lain.

Anehnya penonton yang pulang usai satu seri putas film terlihat banyak yang bermata sembab, bekas menangis. Saya Tanya istri saya, katanya memang ini cerita yang mengharukan. Tapi - kata istri saya melanjutkan - beberapa cerita tidak tepat benar seperti di Novel. Tapi tetap saja ini menjadi film yang mengharukan.

Film ini dibuka dengan Sholawat cak Nun dari album Dzikir Padang Bulan yang pernah saya punya – namun album sangat religius cak Nun ini tak pernah ada lagi di pasaran – yang mengobati kerinduan saya akan rasa Islam yang basah. Background sholawat ini terus ada sepanjang film, berganti dengan soundtrack lagu karya Melly Guslaw. Ditengah-tengah malah lebih banyak shoalawat dari ustadz UJE yang melengking dan mendayu. Dan ketika babak drama film ini memuncak, yakni kematian salah satu tokoh wanita muallaf, dzikir istighfar cak Nun terasa kuat dean kental.

Saya memang tak bicara isi cerita. Saya toh juga belum baca novelnya – atau bisa dibilang tak sempat. Maka yang saya “tonton” malam ini adalah getaran kerinduan penonton yang haus pada pentas yang lebih bermakna. Penuhnya bangku bioskop adalah cermin betapa hausnya kita akan tontonan yang lebih bertanggung jawab. Dan 80 persen umat ini masih waras untuk tidak cinta biuta pada tayangan TV yang semakin tak karuan. Masuarakat rela mengeluarkan sejumlah uang untuk beli karcis dan memenuhi bioskop dengan ayat cinta yang sesungguhnya. Yakni cinta akan kehidupan yang lebih membaik. Dan ini menggugah kita.

Mau ikut nonton seperti saya juga silakan. Siapkan diri anda untuk menangis. Bisa jadi menangis karena keharuan cerita yang memang sengaja dibanggun demikian. Juga menangis karena menemukan fakta kerinduan ummat akan kehidupan yang lebih religus indah dan bermartabat, atau menangis karena ketakberdayaan kita menyaksikan keringnya hari ummat akan nasihat dari tokoh-tokoh yang baik, dan kita tak mampu menemukan tokoh-tokoh itu sampai detik ini.

Untuk para pembuat film, periset rangking acara TV, artis dan produser saya mengimbau untuk mengambil hikmah dari fenomena ayat-ayat cinta bahwa masyarakat jenuh akan tayangan tak bermutu. Mayarakat menunggu Indonesia yang lebih mendekat ke Tuhan.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home