Ketika Mata

My Photo
Name:
Location: DKI Jakarta, Indonesia

Saturday, March 22, 2008

Bocoran Draft Amandemen UU Zakat Versi Depag

Sabtu, 2008 Maret 22

LAZ difungsikan sebagai UPZ

Bahwa Depag tengah menggodok suatu draft tentang amandemen UU yang mengatur perzakatan, kita sudah sama-sama mafhum. pasalnmya amandemen UU 38 tentang Pengelolaan Zakat memenag telah menjadi agenda nasional lembaga-lembaga zakat. wacana ini didorong sejak Munas FOZ di Kaltim Tahun 2003. Namun apa isi perubahan yang dibuat oleh Depag? baru-baru ini FOZ memberikan foto kopi draft Amandemen UU 38 versi depag ini.

Beberapa hal yang pasti dapat terbaca adalah aturan tentang posisi LAZ yang berubah drastis. kalau pada UU No. 38 negara mengakui ada dua institusi yang mengeloa zakat yakni BAZ dan LAZ, maka pada draft ini LAZ akan menjadi semacam UPZ dari BAZ.


Posisi LAZ sebagai UPZ, yakni kepanjangan tangan dari BAZ tentu akan sangat berpengaruh kepada operasional LAZ baik yang berada di tingkat nasional maupun daerah. Istilah UPZ mengartikan pemangkasan peran LAZ dari fungsinya sebagai Amil penuh, menjadi amil pengumpul zakat saja. Jika huruf "P" pada UPZ dikembangkan menjadi "pengumpul dan Penyalur" zakat, tetap saja sebabagai sebuah institusi, LAZ tidak boleh lagi berperan sebagai Amil "selangkapnya".

Ini baru satu itu, draft itu sendiri masih panjang untuk diundangkan.Apa yang harus disiapkan oleh LAZ saat ini? saya kira Gerakan Zakat kita akan mengarungi lautan yang menantang untuk diarungi. Beruntung kita lagir pada fase ini, sehingga punya harapan menyumbangkan suatu yang besar, yang akan menentukan perzakatan kita di tanah air,

Saya sendiri akan mencoba mengetik ulang hardcopy draft versi depag itu sehingga teman-teman bisa menganalisis dan memberi komentar, sambil merancang strategi kita.

Labels:

Wednesday, March 05, 2008

Fenomena Ayat-ayat Cinta


Secara tak sadar pengajian dan majlis taklim di kota-kota besar turut menjadi marketing Film Ayat-ayat Cinta. Itu loh, film yang diangkat dari novel book seller karya Habiburrahman El Sirazi, sebuah novel cinta berbalut nuansa dakwah yang dahulu diterbitkan secara bersambung di Republika.Maka pada pemutaran hari ke-4 saya menuruti permintaan istri saya yang aktifis pengajian nonton film ayat-ayat Cinta di bioskop 21 Pondok Indah Mall. Setelah sekian lama tidak pernah nonton di bioskop lagi – dahulu waktu bujangan saya lumayan sering menyambangi bioskop – sore itu saya ikut antri di loket bioskop kenamaan ini. Menikmati antri adalah segment yang mengasikkan, karena antri di bioskop malah bias teratur, padahal antri turun dari pesawat aja orang melayu seperti kita sudah untuk bisa saling mengalah. Akhirnya antrian saya tinggal satu orang di depan loket. Aha! Saya baca tulisan kemudian di temple : TIKET HABIS! Di kertas ala kadarnya dengan tulisn spidol hitam.

Rupanya antrian saya ini memang buat mereka yang bisa nonton pada jam berikutnya. Jadi saya harus sabar menunggu film ini diputar dua kali, baru yang ketiga saya bisa dapat tiketnya. Setelah mendapat persetujuan dari membaca tatapan mata istri tercinta, akhirnya saya beli tiket itu. Walah, sayapu hanya dapat bangku no dua dari depan, alias saya nomor urut paling buncit. Karena tinggal beberapa bangku saja yang masih kosong.

Maka saya berkesempatan menunggu dan menikmati banyak hal yang menarik. Tadinya saya gak menyangka bioskop jadi berbeda dari biasanya. Kali ini anyak ibu dan remaja putri berkerudung duduk-duduk menunggu jam putar bioskop. Ini agak aneh. Walau sebagian adalah anak Mall dengan busana mereka yang khas dan terbuka, tapi tetap aja para penunggu7 fiulm ini separuhnya adalah anak pengajian, terasa dari aura, gesture dan cara komunikasi mereka, ini komunitas lain.

Anehnya penonton yang pulang usai satu seri putas film terlihat banyak yang bermata sembab, bekas menangis. Saya Tanya istri saya, katanya memang ini cerita yang mengharukan. Tapi - kata istri saya melanjutkan - beberapa cerita tidak tepat benar seperti di Novel. Tapi tetap saja ini menjadi film yang mengharukan.

Film ini dibuka dengan Sholawat cak Nun dari album Dzikir Padang Bulan yang pernah saya punya – namun album sangat religius cak Nun ini tak pernah ada lagi di pasaran – yang mengobati kerinduan saya akan rasa Islam yang basah. Background sholawat ini terus ada sepanjang film, berganti dengan soundtrack lagu karya Melly Guslaw. Ditengah-tengah malah lebih banyak shoalawat dari ustadz UJE yang melengking dan mendayu. Dan ketika babak drama film ini memuncak, yakni kematian salah satu tokoh wanita muallaf, dzikir istighfar cak Nun terasa kuat dean kental.

Saya memang tak bicara isi cerita. Saya toh juga belum baca novelnya – atau bisa dibilang tak sempat. Maka yang saya “tonton” malam ini adalah getaran kerinduan penonton yang haus pada pentas yang lebih bermakna. Penuhnya bangku bioskop adalah cermin betapa hausnya kita akan tontonan yang lebih bertanggung jawab. Dan 80 persen umat ini masih waras untuk tidak cinta biuta pada tayangan TV yang semakin tak karuan. Masuarakat rela mengeluarkan sejumlah uang untuk beli karcis dan memenuhi bioskop dengan ayat cinta yang sesungguhnya. Yakni cinta akan kehidupan yang lebih membaik. Dan ini menggugah kita.

Mau ikut nonton seperti saya juga silakan. Siapkan diri anda untuk menangis. Bisa jadi menangis karena keharuan cerita yang memang sengaja dibanggun demikian. Juga menangis karena menemukan fakta kerinduan ummat akan kehidupan yang lebih religus indah dan bermartabat, atau menangis karena ketakberdayaan kita menyaksikan keringnya hari ummat akan nasihat dari tokoh-tokoh yang baik, dan kita tak mampu menemukan tokoh-tokoh itu sampai detik ini.

Untuk para pembuat film, periset rangking acara TV, artis dan produser saya mengimbau untuk mengambil hikmah dari fenomena ayat-ayat cinta bahwa masyarakat jenuh akan tayangan tak bermutu. Mayarakat menunggu Indonesia yang lebih mendekat ke Tuhan.

Labels: